Pages

Jumat, 05 Januari 2018

[BOOK REVIEW] Melihat Api Bekerja: Kumpulan Puisi

0 komentar
Judul : Melihat Api Bekerja: Kumpulan Puisi
Penulis : M. Aan Mansyur
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2015
Halaman : 155
ISBN : 978-602-03-1557-7
Overall Rate ⭐⭐⭐⭐

Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.

Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.

"Menikmati Akhir Pekan"
***
Beberapa orang bilang: "Buku yang bagus adalah buku yang bisa membuatmu berpikir dan ingin menulis." Dalam syarat semacam itu, buku ini benar-benar bagus menurutku. Membaca Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur serasa membaca kumpulan cerita yang dipuisikan, dengan kalimat-kalimat serta kata-kata sambung yang sering kali dipecah-pecah secara sembarangan demi memunculkan rima yang teratur. Dalam setiap puisinya, Aan menarasikan bukan hanya perenungan dan perasaan, tetapi juga kritik dan sindiran terhadap hal-hal yang sering kita anggap “biasa saja” namun kontradiksi pada nilai-nilai yang ada. Layaknya buah karya seniman pada umumnya, Melihat Api Bekerja, jika boleh dinilai, merupakan perwujudan diri Aan secara hati dan pikiran.

Membaca Melihat Api Bekerja juga merupakan tantangan besar, karena dari 54 puisi yang tersaji, beberapa ada yang menggunakan diksi yang teramat kental serta gaya stream of consciousness yang sulit diikuti ujung pangkalnya sehingga dibaca sampai berulang kali pun tidaklah cukup.
Mungkin satu-satunya cara untuk mengerti adalah dengan membiarkan semua kata-kata itu hanyut dan dengan sendirinya menciptakan perasaan-perasaan artifisial yang ingin ditunjukkan Aan lewat puisi-pusi ini.

Namun begitu, Aan Mansyur menyihir dengan puisinya yang bukan seperti penyair lain, bukan pula seperti penyair angkatan '45, tetapi ia penyair yang lahir di era kebahagian adalah "kebohongan", kebohongan adalah "kebodohan membunuh anak kecil dalam dirimu sendiri", sendiri adalah "lagu paling sedih", sedih adalah "guratan takdirmu dan ibumu", ibumu adalah "pencipta kebahagian yang paling abadi". Semua itu adalah potongan-potongan bait puisi yang terdapat dalam buku ini. Puisi-puisi ini terasa begitu senang duduk di celah hati. Dan ada beberapa yang membuat hati terjentik. Indah. Kata-kata yang selalu memeluk asa, dan rasa. Yang jelas, aku sangat menikmati membaca kumpulan puisi ini.
"Kau Membakarku Berkali-kali"

Aku pernah tinggal di buku 
catatan harianmu dan kau bakar
di kaki pohon mangga di samping 
kamar tidurmu. Kau kembalikan
aku jadi pohon dan aku semakin mencintaimu.

Aku ranting yang kemarin sore 
kau potong karena menyentuh
kaca jendelamu. Akan kau dengar
aku tidak berhenti mengucapkan 
namamu ketika apimu menghabisi 
tubuhku sekali lagi.

Buat apa kuserahkan hidupku 
kepada hal-hal lain, jika cinta juga
bisa membunuhku. berkali-kali dan
berkali-kali lebih perih. (halaman 147)
Dan potongan yang menjadi bagiaan kesukaanku ada dalam puisi "Menenangkan Rindu"
 
Dia meninggalkanmu agar bisa
selalu mengingatmu. Dia akan
pulang untuk membuktikan
mana yang lebih kuat, langit atau
matamu.
(halaman 47)
 


Setiap cerita dalam puisi-puisinya disertai dengan Ilustrasi yang begitu manis dan saling melengkapi, seakan menampilkan cantik tapi terluka; sempurna tapi menderita; cinta tapi juga dendam. Terutama ilustrasi perempuan pada cover buku. Sehingga sajak dan ilustrasinya bisa saling menghidupkan, maka pembaca pun dibawa hanyut sekali lagi. 

Dalam buku ini aku benar-benar melihat bagaimana api bekerja dalam semangat Aan -sang penyair. So I think this one's deserve four out of five stars! 

[BOOK REVIEW] Doa Untuk Anak Cucu

0 komentar
Judul : Doa Untuk Anak Cucu  
Penulis : W.S Rendra
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2013
Halaman : 120
ISBN : 978-602-88-1112-5
Overall Rate ⭐⭐⭐⭐⭐ 

Rendra, penyair legendaris negeri ini, telah lama berpulang. Namun, dia tidak sepenuhnya pergi. Ditinggalkannya alunan kata yang indah dan bertenaga bagi kita. Rendra bukan hanya seorang penyaji estetika. Dia turut menghadirkan realita di dalamnya. Perhatikanlah betapa puisi-puisinya selalu bicara tentang peristiwa di sekeliling kita. Tentang mulut-mulut yang terbungkam. Tentang orang-orang yang dirampas haknya. Tentang harapan mereka yang dilupakan. Namun, tak lupa pula dia membingkai rasa hormatnya kepada pencipta dalam larik-larik penuh makna.

Doa untuk Anak Cucu berisi puisi-puisi yang kerap dibacakan Rendra di berbagai kesempatan, namun tak pernah diterbitkan. Buku ini memberi kesempatan bagi siapa saja yang ingin menikmati kepekaan dan kegeniusan Rendra dalam mengolah rasa menjadi kata, sekaligus menjadi warisan otentik tak ternilai bagi generasi-generasi yang akan terlahir di masa-masa berikutnya.
 
***
Aku suka Rendra. Suka sekali. Mungkin karena gaya penulisannya yang sangat khas: frontal, tidak basa-basi, tegas, dan lugas. Ia tidak menggunakan banyak metafora atau simile, kalaupun ya, metaforanya masih dapat dengan mudah dipahami. Terlebih lagi biasanya Rendra menuliskan kisah, balada, dan fenomena di balik puisinya, jadi biar kita pinter dikit baca puisi sekaligus belajar sejarah, belajar sosiologi, belajar politik, belajar hidup dari penulis sekelas W.S. Rendra dengan ilmu dan pengalaman dalam bidang sastra, teater, dan puisi yang mumpuni.

Buku ini memuat 22 puisi, dengan objek yang berbeda-beda, namun benang merahnya tetap protes terhadap pemerintah, politisi, militer. Ia juga mengajak kita melihat konsep ideal tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah.
 
Semenjak puisi pertama, hingga terakhir, jujur aku sangat menikmati. Mungkin karena Rendra bukan tipe pengguna kalimat metafora yang membingungkan. Dengan menggunakan kalimat lugas, puisinya tetap saja indah dibaca dan dirasa. Kebanyakan puisi dalam buku ini merupakan puisi bernada sosial, dan didominasi kritik terhadap pemerintahan Soeharto yang memang membatasi kebebasan para seniman saat itu. Ada pula puisi yang bernuansa religius, konflik Ambon, Tsunami Aceh, dan kehidupan kaum miskin. Puisi-puisinya adalah saksi betapa membabi buta cintanya terhadap rakyat dan mereka yang terpinggirkan.
"Gumamku, ya Allah"

Angin dan langit dalam diriku
gelap dan terang di alam raya
arah dan kiblat di ruang dan waktu
memesona rasa duga dan kira
adalah bayangan rahasia kehadiran-Mu, ya Allah!

Serambut atau berlaksana hasta
entah apa bedanya dalam penasaran pengertian
Musafir-musafir yang senantiasa mengembara
Umat manusia tak ada yang juara
Api rindu pada-Mu menyala di puncak yang sepi

Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu
Agama adalah kemah para pengembara
Menggema beragam doa dan puja
Arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda (halaman 3)
Tidak bisa untuk tidak memberi buku antologi puisi ini lima bintang, karena pada akhirnya kumpulan puisi Rendra ini memang merupakan doanya bagi anak cucu (baca: kita).

Senin, 01 Januari 2018

[BOOK REVIEW] Tidak Ada New York Hari Ini

0 komentar
Judul : Tidak Ada New York Hari Ini
Penulis : M. Aan Mansyur
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2016
Halaman : 120
ISBN : 978-602-03-2723-5
Overall Rate ⭐⭐⭐⭐


Hari-hariku membakar habis diriku
Setiap kali aku ingin mengumpulkan
tumpukan abuku sendiri, jari-jariku
berubah jadi badai angin.

Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan—

 ***
Tidak Ada New York Hari Ini mengantarkan pembaca pada sebuah sudut pandang lain dari Rangga. Buku puisi ini bisa dibilang merupakan komplementer film Ada Apa Dengan Cinta 2. Bagi yang tertarik untuk mendalami pola pikir seorang Rangga, buku ini sangat tepat untuk dibaca. Rangga, ia seakan misterius dan sulit ditebak pola pikirnya dalam film, tetapi Rangga dipreteli dengan baik dalam kumpulan puisi dan fotografi ini. M. Aan Mansyur berhasil "menjadi Rangga" dan membuat karakter itu hidup dalam puisi-puisinya, menunjukkan pada kita bahwa Rangga yang misterius itu ternyata sesosok sensitif yang canggung dan selalu merasa tidak punya tempat yang benar-benar bisa disebut rumah. 

Sosok Rangga yang selalu menyimpan kemarahan pada pemerintahan yang mengacaukan keluarganya namun di sisi lain selalu merasa mellow terhadap kehidupan tercermin sekali di puisi ini. Di puisi-puisi yang lain pun kadang "Rangga" terasa begitu marah terhadap sistem, kadang begitu galau akan cinta, dan kadang begitu sedih melihat kemanusiaan. Personally, aku sangat bisa relate dengan Rangga, dan dengan puisi-puisi dalam buku ini.

Sepanjang buku, kita akan disuguhi dengan 31 puisi cinta dan perpisahan khas Aan Mansyur yang disempurnakan oleh foto-foto hitam-putih jalanan New York oleh Mo Riza. Perpaduan yang apik antara kata dan cahaya.

Banyak sekali puisi yang aku suka di dalam buku ini. “Ketika Ada yang Bertanya Tentang Cinta”, “Batas”, “Aku Senang Memikirkanmu”, dan “Memandang Dunia dari Jendela Kafe”. Ah, mungkin aku hampir menyukai semua puisi yang ada dalam buku ini.
"Tidak Ada New York Hari Ini"

Tidak ada New York hari ini.
Tidak ada New York kemarin.
Aku sendiri dan tidak berada di sini.
Semua orang adalah orang lain.

Bahasa ibu adalah kamar tidurku.
Kupeluk tubuh sendiri.
Dan cinta-kau tak ingin aku
mematikan mata lampu.
Jendela terbuka
dan masa lampau memasukiku sebagai angin.
Meriang. Meriang. Aku meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang. (halaman 10)
Puisi ibarat kumpulan udara yang menyesakkan paru-parumu hingga meluap. Meledak dan memenuhimu dengan euforia dan ketenangan yang hebat. Sama seperti membaca tulisan-tulisan Aan Mansyur di sini, membuat aku merindu sekaligus takut kehabisan waktu menikmati tiap baitnya.
"Pukul 4 Pagi"

Kadang-kadang, kau pikir,
lebih mudah mencintai semua orang
daripada melupakan satu orang.
Jika ada seseorang
yang terlanjur menyentuh inti jantungmu,
mereka yang datang kemudian
hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan. (halaman 13)
Aan Mansyur dengan sukses menggambarkan kata hati Rangga yang ditulis dengan puisi bersuaranya.  
This poetry book is highly recommended since I gave it four out of five stars!