Pages

Senin, 01 Januari 2018

[BOOK REVIEW] Tidak Ada New York Hari Ini

Judul : Tidak Ada New York Hari Ini
Penulis : M. Aan Mansyur
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2016
Halaman : 120
ISBN : 978-602-03-2723-5
Overall Rate ⭐⭐⭐⭐


Hari-hariku membakar habis diriku
Setiap kali aku ingin mengumpulkan
tumpukan abuku sendiri, jari-jariku
berubah jadi badai angin.

Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan—

 ***
Tidak Ada New York Hari Ini mengantarkan pembaca pada sebuah sudut pandang lain dari Rangga. Buku puisi ini bisa dibilang merupakan komplementer film Ada Apa Dengan Cinta 2. Bagi yang tertarik untuk mendalami pola pikir seorang Rangga, buku ini sangat tepat untuk dibaca. Rangga, ia seakan misterius dan sulit ditebak pola pikirnya dalam film, tetapi Rangga dipreteli dengan baik dalam kumpulan puisi dan fotografi ini. M. Aan Mansyur berhasil "menjadi Rangga" dan membuat karakter itu hidup dalam puisi-puisinya, menunjukkan pada kita bahwa Rangga yang misterius itu ternyata sesosok sensitif yang canggung dan selalu merasa tidak punya tempat yang benar-benar bisa disebut rumah. 

Sosok Rangga yang selalu menyimpan kemarahan pada pemerintahan yang mengacaukan keluarganya namun di sisi lain selalu merasa mellow terhadap kehidupan tercermin sekali di puisi ini. Di puisi-puisi yang lain pun kadang "Rangga" terasa begitu marah terhadap sistem, kadang begitu galau akan cinta, dan kadang begitu sedih melihat kemanusiaan. Personally, aku sangat bisa relate dengan Rangga, dan dengan puisi-puisi dalam buku ini.

Sepanjang buku, kita akan disuguhi dengan 31 puisi cinta dan perpisahan khas Aan Mansyur yang disempurnakan oleh foto-foto hitam-putih jalanan New York oleh Mo Riza. Perpaduan yang apik antara kata dan cahaya.

Banyak sekali puisi yang aku suka di dalam buku ini. “Ketika Ada yang Bertanya Tentang Cinta”, “Batas”, “Aku Senang Memikirkanmu”, dan “Memandang Dunia dari Jendela Kafe”. Ah, mungkin aku hampir menyukai semua puisi yang ada dalam buku ini.
"Tidak Ada New York Hari Ini"

Tidak ada New York hari ini.
Tidak ada New York kemarin.
Aku sendiri dan tidak berada di sini.
Semua orang adalah orang lain.

Bahasa ibu adalah kamar tidurku.
Kupeluk tubuh sendiri.
Dan cinta-kau tak ingin aku
mematikan mata lampu.
Jendela terbuka
dan masa lampau memasukiku sebagai angin.
Meriang. Meriang. Aku meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang. (halaman 10)
Puisi ibarat kumpulan udara yang menyesakkan paru-parumu hingga meluap. Meledak dan memenuhimu dengan euforia dan ketenangan yang hebat. Sama seperti membaca tulisan-tulisan Aan Mansyur di sini, membuat aku merindu sekaligus takut kehabisan waktu menikmati tiap baitnya.
"Pukul 4 Pagi"

Kadang-kadang, kau pikir,
lebih mudah mencintai semua orang
daripada melupakan satu orang.
Jika ada seseorang
yang terlanjur menyentuh inti jantungmu,
mereka yang datang kemudian
hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan. (halaman 13)
Aan Mansyur dengan sukses menggambarkan kata hati Rangga yang ditulis dengan puisi bersuaranya.  
This poetry book is highly recommended since I gave it four out of five stars! 

0 komentar:

Posting Komentar